Minggu, 28 Oktober 2012

Imagine #2

WONDERSTRUCK

{Airin : II}


GLEN

Airin menatap Revan bingung ketika seorang cowok yang ia sangat yakin dari kelas X2--kelas Gendis, Soraya dan Reina--memanggilnya dengan nama itu.
Revan menghampiri temannya itu lalu mulai berbicara. Mereka tertawa di sela-sela obrolan, diiringi pukulan halus.
Mereka berhenti berbicara setelah teman Revan itu melirik jam tangannya lalu memutuskan untuk pergi. Lalu Revan kembali duduk di sebelah Airin. Dan mereka kembali terhanyut dalam diam.
“Eh iya, pensil lo!”  Kata Revan tiba-tiba. Ia mengeluarkan tempat pensilnya, lalu mengeluarkan pensil Airin dan menyerahkannya kembali ke pemiliknya. “Makasih ya, hehe.”
“Iya, sama-sama.” Airin memasukkan pensil itu ke tempat pensilnya. “Eh Rev…”
“Iya?” Balas Revan. Airin menatap Revan lama sebelum akhirnya tersadar dari lamunannya.
“Eh, nggak. Nggak apa-apa.”
Dan mereka kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing.
                                                            ***
“Untuk tugas ini, kalian akan berpasangan dengan teman sebangku kalian.”
Kata-kata Bu Nina membuat seluruh kelas mengeluarkan suara-suara gelisah, namun ada pula yang berseru lega.
Airin menatap Revan, merasa diamati, Revan menoleh ke arah Airin.
“Kita sekelompok, ya?” Tanya Revan.
“Kalo lo nggak suka, kita tukeran aja. Si Vi kayaknya sekelompok ama Tama tuh.”
“Loh, siapa yang bilang gue nggak suka?”
“Eh?”
Airin menatap Revan kaget. Cukup lama hingga bel akhirnya berbunyi.
“Besok pulang sekolah ketemu di lobi ya, gue ada ekskul bentar. Abis itu kita baru kerja kelompok.”
Tanpa menunggu jawaban Airin, Revan beranjak pergi. Meninggalkan Airin dengan mata terbelalak.
                                                            ***
Airin melirik jam tangannya. 15.50. Ia menghela napas lalu menyenderkan kepalanya di meja piket. Ia sudah bertekad, jika sampai pukul 16.00 Revan tidak muncul, ia akan pulang. Airin tidak mau mengambil risiko mamanya marah-marah karena pulang terlalu sore.
“Ay, maaf. Lama ya nunggunya?” Airin merasa bahunya seperti menjadi tumpuan. Ketika ia membalikkan badannya, sosok Revan tengah membungkuk, mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
“Eh, nggak kok, Van.”
Waktu menunggu yang lama itu sepadan kok sama apa yang bisa kulihat sekarang.
“Kalo gitu, kita langsung aja ya.”
Tanpa menunggu, Revan melangkahkan kakinya, diikuti Airin di belakangnya.
                                                            ***
“Kita….. Naik motor?” Tanya Airin.
“Ya, mau naik apa lagi? Masa kita jalan kaki terus motor gue ditinggal gitu.” Jawab Revan lalu menyematkan senyum di wajahnya. Perut Airin terasa aneh.
“Naik.” Revan mengisyaratkan Airin untuk duduk di belakangnya dengan kepalanya. Airin terdiam lama.
“Ay, Airin?” Revan melambaikan tangannya di hadapan wajah Airin.
“Eh? I-Iya, Van.” Dengan ragu Airin duduk menyamping di motor Revan. Dan Revan segera menjalankan motornya.
                                                         ***
Airin menyapukan pandangan matanya kepada objek yang tengah ia tatap. Rumah di hadapannya itu tak begitu luas atau besar, namun terlihat nyaman dan mempesona. Revan bilang, sudah 13 tahun ia tinggal di rumah ini. Menjelaskan cat dinding yang mulai kotor dan pagar besi yang mulai berkarat.
“Kamu duduk  di sini aja dulu. Gue ke kamar dulu.” Ujar Revan saat mereka telah masuk ke dalam. Airin mengangguk lalu segera duduk di sofa merah marun yang berada di ruang tamu rumah itu.
“Mas Revan udah pulang, mas?” Tanya Bi Inah, pembantu Revan disambut anggukan Revan.
“Bi, ini temen Revan. Tawarin minum ya Bi, saya ke atas dulu.”
“Njeh, mas.” Dan Revan melangkah ke dalam.
“Mbak mau minum apa, mbak?” Tanya Bi Inah ramah.
“Hm? Apa aja yang ada, Bi. Air juga boleh.” Jawab Airin sambil tersenyum sopan.
“Eh… Jangan begitu, dong. Ya sudah, saya buatkan jus saja, ya. Biasanya jam segini, Mas Revan suka minum jus.” Tukas Bi Inah. Airin berkerut, lalu akhirnya mengangguk. Ia mencatat hal yang baru Bi Inah ucapkan. Pukul 5 sore. Minum Jus.
Sambil menunggu minumannya dibuat, Airin menelusuri ruangan tempat ia berada. Dinding yang bercat krem dihiasi lukisan-lukisan dan foto-foto yang digantung rapi. Mata Airin berhenti di salah satu lukisan abstrak yang didominasi warna biru, kuning, dan beberapa warna gelap. Satu benda yang Airin bisa tangkap dari lukisan itu hanyalah gambar rumah-rumah yang digambar jelas. Sementara, gambar lainnya terlihat abstrak dan hanya dapat ditafsirkan dengan otak seni, bukan otak ordinary seperti yang ia miliki ini. Ia melihat signature sang pelukis, Affandi. Ia mungkin bukan pecinta lukisan atau apa, tapi Pak Agus-guru seni SMPnya-berkali-kali mengatakan nama itu dan iapun pernah mendengar bahwa si bapak Affandi itu pelukis yang handal dan lukisannyapun mahal.
Airin menggerakan bola matanya untuk menelusuri perlahan-lahan objek-objek di pigura-pigura yang tergantung di dinding itu. Akhirnya ia mendapat apa yang dicarinya, foto keluarga. Disana ada satu sosok yang ia kenal, tesenyum cerah dengan tangan merangkul ke perempuan di sebelahnya, yang memiliki mata dan senyum yang sama. Airin melirik bahu Revan di foto itu, seorang laki-laki gagah merengkuh bahu Revan dengan wajah yang tak kalah cerah dari wajah anaknya. Sementara perempuan di sebelah ayah Revan tersenyum lembut dan melekatkan lengannya di pinggang sang suami. Airin tersenyum simpul. Such a family potrait. Pikirnya.
“Monggo, mbak, jusnya.” Bi Inah meletakkan dua gelas berisi cairan warna merah itu di meja.
“Saya senang banget lho, akhirnya mas Revan punya teman cewek juga. Dari dulu yang ke rumah cowooook terus. Itupun teman dari SD. Gak nambah-nambah.” Kata Bi Inah, tak menyembunyikan rasa bahagianya atas kedatanagan Airin.
“Saya cuma kerja kelompok aja kok, Bi. Gak lebih…” Balas Airin mencoba menjelaskan, tetap dengan nada sopan.
“Tapi, tetap saja, mbak. Yang namanya cewek sama cowok… Nggak mungkin sekadar teman.” Kata-kata Bi Inah membuat Airin menelan ludah sebanyak-banyaknya.
“Siapa yang sekadar teman?” Revan tiba-tiba muncul, membuat Bi Inah gelagapan.
“Eh… Nggak, mas. Bibi sudah bikinkan jus. Bibi permisi dulu ya, mas, mbak.” Ujar Bi Inah lalu meninggalkan Revan dan Airin berdua. Seketika ruangan itu hening cukup lama. Lalu dipecahkan oleh suara Revan yang meneguk jus stroberinya.
“Tugasnya disuruh apa, sih? Gue nggak begitu ngerti.” Revan menggaruk kepalanya. Airin mengeluarkan binder dari tasnya dan membuka lembaran-lembarannya.
“Disini sih katanya kita buat makalah tentang benda langit. Bisa cari di internet sih, tapi katanya lebih bagus lagi kalo kita eksperimen.”
Revan mengangkat alisnya. “Eksperimen?”
“Ya, gak harus naik roket terus kita lihat langsung gitu. Misalnya kita tanya ke pakar, atau kita ke planetarium. Semacam gitu lah.”
“Kalo kita liat pake teropong?”
“Kalo punya sih, boleh aja. Masalahnya… Emang kita punya?” Pertanyaan Airin disambut anggukan ringan Revan.
“Gue punya. Udah agak lama sih, tapi nggak pernah dipake 7 tahun terakhir. Jadi harusnya masih oke.”
“Serius? Punya lo?” Airin membelalak, dibalas gelengan Revan.
“Punya mas Putra. Abang gue yang paling tua.” Jawaban Revan membuat Airin bingung. Tidak tampak ada laki-laki lain di foto keluarga yang ia lihat di ruangan ini, selain wajah Revan dan lelaki separuh baya yang sudah pasti ayahnya. Seolah mengerti maksud tatapan Airin, Revan membuka mulutnya.
“Mas Putra meninggal. Kecelakaan. Pas dicek ternyata dia mabuk berat. Mobilnya nabrak pohon gede, terus mas Putra kehilangan banyak darah. Setelah 3 hari koma, akhirnya dia pergi.” Revan tersenyum getir.
“Sori….” Gumam Airin.
“Dia padahal dulu kakak yang baik. Dia idola nomor satu gue. Yang gue tahu, dia orang baek, orang pinter. Di mata gue, anak ITB itu pinter, makanya pas gue tau dia masuk sana, gue tambah mengidolakan dia. Tapi saat itu gue tau, lo gak bener-bener kenal seseorang kalo lo gak kenal sisi buruknya.” Revan menatap Airin. “Lo gak perlu minta maaf. It’s not like you’ve killed him.
Airin menutup bibirnya rapat-rapat. Ia baru mengenal Revan tak lebih dari dua bulan, dan ia sudah tahu begitu banyak rahasia tentang cowok di hadapannya ini.
“Dulu mas Putra suka ngajak gue ke lapangan di kompleks rumah sambil bawa teropong segede gaban. Tetangga pada ngeliatin, tapi dia tetep aja bawa-bawa itu teropong. Terus pas kita sampe, dia ngeliat pake teropong itu 10-15 menit sampe akhirnya dia ngasih gue buat ngeliat. Anak tetangga pada kepo pengen ngeliat ada apa di dalem teropong itu. Tapi gak dibolehin sama mas Putra, katanya ini rahasia Ouranos yang diilhamkan ke dia dan cuma keluarga mas Putra doang yang boleh tau. Dan lo tau apa yang terjadi besoknya?” Airin menggeleng.
“Dia abis ditabokin ama Bu RT gara-gara bikin anaknya mewek semaleman.” Airin tergelak bebas bersama Revan. Cukup lama hingga akhirnya tawa mereka reda. Airin menyeka air mata dari wajahnya.
“Ada-ada aja abang lo, Van.” Kata Airin setelah meneguk jusnya karena tenggorokannya kering setelah tertawa cukup lama.
“Yah.. Begitulah. Lo cerita kek tentang keluarga lo.”
“Ntar, kalo lo main ke rumah gue.”
“Hm. Gue menantikan saat itu.”
“Eh, jadi gimana nih? Kita bagi tugas aja?” Tanya Airin kembali ke tugas mereka.
“Boleh. Tapi eksperimennya bareng ya. Ogah kalo sendiri.”
“Iya, iyaa.” Airin meraih pensil dan menulis tugas-tugas Revan di secarik kertas,  hingga ia teringat sesuatu. “Eh, gue mau tanya satu hal lagi. Tadi gue denger temen lo manggil lo Glen ya?”
“Hm? Oooh iya.”
“Kenapa? Apa nama panggilan lo emang Glen atau…”
“Gini-gini, dulu pas mereka main ke rumah gue terus mereka ngobrak ngabrik abum foto gue pas kecil, terus kebanyakan foto gue tuh pake topi fedora sama topi kupluk. Nah jaman-jaman itu kan Glen Fredly lagi ngetren banget, udah gitu pas banget gue lahir bulan Januari jadi ya… gitu.” Jelas Revan. Airin menangkap segala kata yang terucap dari bibir Revan, lalu menyelipkan memo dalam otaknya. Lahir bulan Januari.
Hening melintasi keberadaan mereka lagi. Diisi gesekan pensil yang beradu dengan kertas, menari-nari membentuk huruf-huruf dan menyambung menjadi kalimat. Airin menuliskan apa hal yang sebelumnya ia tulis, sampai akhirnya ia mendongakkan kepala.
“Tapi, gue lebih suka memanggil lo Revan, kalo lo gak keberatan.” Airin meletakkan kertas yang dari tadi ia pegang di meja.
“Sama sekali enggak. Gue lebih suka kalo lo manggil gue Revan. Terdengar lebih… Familiar, dan akrab.” Balas Revan sambil tersenyum, lalu meraih kertas  di atas meja. Senyumnya tambah merekah seketika ia melihat tulisan di atas kertas itu.
Tugas Kelompok Geografi Pertama; “Bintang”
 Oleh : Revan & Airin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar