WONDERSTRUCK
{Airin : I}
First Day
Ini hari pertama Airin di SMA. Ia memulainya dengan desahan
pelan di ambang pintu sekolah barunya. Menghadapi kenyataan bahwa ia diharuskan
untuk beradaptasi di lingkungan baru membuat perasaannya campur aduk. Tentu ia
merasa senang karena akhirnya terbebas dari lebel anak SMP, dan kini ia sudah
dapat di sebut sebagai seseorang yang dewasa. Tapi kenyataan bahwa ia harus
pindah ke lingkungan baru dan memulai dari awal membuatnya gelisah. Ia berpikir
mungkin perasaan itu yang membuatnya sakit perut tadi pagi sehingga harus
menghabiskan setengah jam lebih di kamar mandi. Andai adaptasi di sekolah bisa dilakukan semudah adaptasi morfologi,
hanya perlu untuk menyesuaikan bentuk tubuh dan semuanya selesai. Aku hanya
perlu bergaul dengan spesiesku yang sama, dan masalah selesai, pikirnya.
Namun tidak semudah itu. Jika ia pikir, semua manusia di sekolah ini adalah
spesies yang sama dengannya. Tapi,
manusia bukanlah hewan , tidak semua diterima sebagai anggota, bahkan dengan
morfologi yang sama.
Airin menaiki tangga dan akhirnya mendarat di lantai 2
ketika teman-temannya menghampirinya.
“Ay! Suntuk amat muka.” Sapa Soraya, merangkul bahu Airin.
“Aih… Berat tau Ray bawaan gue. Sana sana.” Keluh Airin
sambil menangkis lengan Soraya dengan bahunya.
“Iya, iya…. Ngambek ya lo?” Tanya Soraya hati-hati.
“Kagak…. Buset tiap hari aja gue di bilang ngambek.”
“Abis muka lu gitu sih Ay…” Ujar Gendis.
“Ya muka gue emang kayak gini, mau gimana lagi.” Balas Airin
dengan wajah bête.
“Iya iyaaaa Airin. Astaga. Lo di kelas berapa sih?” Tanya
Gendis tak sabar.
“X3.”
“Tuh X3 di 208. Kelas gue di 202.”Kata Gendis sambil
menunjuk ruangan yang dimaksud.
“Okelah. Eh, yang lain mana dah?” Tanya Airin.
“Pada di lantai 4… Si Irsa biasalah telat.” Balas Soraya.
“Okey… Gue ke kelas dulu ya. Bentar lagi bel kayaknya.” Kata
Airin lalu melambaikan tangannya.
“Okeee.. Kita juga balik deh yaa…” Gendis dan Soraya
membalas lambaian tangan Airin, lalu mereka berjalan ke kelas masing-masing.
***
Airin masuk ke kelasnya ketika murid laki-laki sedang tertawa
terbahak-bahak. Membuat lame jokes-yang
menurutnya tidak lucu sama sekali-,meneriakan kata kasar, dan ketawa lagi.
Airin menghela napas. Ia harus tahan sekelas dengan para troublemaker yang
terkenal seantero sekolah selama setahun.
Ia mengangkat kepalanya, mencari tempat duduk yang kosong.
Tinggal baris kedua dan ketiga di barisan paling kanan. Oh, tentu saja. Barisan
belakang pasti sudah dikuasai para ‘pembajak’, dan bagian depan para ‘kapten’.
Airin memilih duduk di barisan ketiga, sehingga ia bisa menjadi ‘penumpang’
saja. Di barisan pertama ia melihat tempat pensil yang familiar. Daffa. Si bintang sekolah. Ia baru ingat
karena kemarin ia melihat nama si jenius itu terselip di antara nama-nama lain,
dan karena hanya namanya yang Airin kenal dari seluruh nama-nama itu.
Airin duduk di bangkunya lalu membuka tasnya dan
mengeluarkan tempat pensil dan buku pelajaran pertama. Sejarah. Airin mengangkat alisnya.Waktu yang tepat untuk tidur,pikirnya.
Bel berbunyi.
Airin melirik bangku kosong di sebelahnya. Perutnya kembali
sakit. Memikirkan siapa yang akan duduk di bangku sebelahnya selama satu tahun.
Well, meskipun sekolahnya ini moving class, kecil kemungkinan bahwa setiap
murid mau berganti teman sebangku setiap jam pelajaran. Airin membayangkan
bahwa teman sebangkunya adalah anak yang berisik, selalu main hape ketika guru
mengajar, dan mengorok ketika tidur. Membayangkannya saja membuat kepala Airin
serasa dihantam kontainter.
Sekarang wali kelas sudah masuk. Dan belum ada yang mengisi
bangku di sebelahnya. Semua murid sudah berada di tempatnya masing-masing. Dada
Airin berdebar tak karuan. Ini aneh, karena kemarin Airin melihat di daftar
nama dan jumlah murid di kelasnya ada 40 pas.
Ketika Bu Ena, wali kelasnya, masih sibuk membereskan
berkas-berkas yang entahlah ia tahu, pintu terbuka. Seorang cowok yang ketika
ia masuk langsung di sambut dengan keberisikan para pembajak.
“Wah Dion telat wah.”
“Parbet lu Yon. Wah wah wah.”
Dan kata-kata lainnya yang tidak Airin perdulikan. Ah, dia
pernah mendengar tentang orang ini. Dion Barata. Cowok badung bersuku batak
yang konon katanya bau bukan main. Selain itu ada juga yang mengatakan ia
berisik, nilainya jelek bukan main dan oh, yang terbaru, ia tertangkap merokok
oleh sekolah lamanya. Airin tak henti melantunkan ayat kursi di hatinya. Ia
gelisah bukan main, gimana kalo Dion tiba-tiba overdosis atau kejang-kejang di
sebelahnya? Airin memejamkan matanya. Ketika ia mendengar isyarat Bu Ena untuk
menyuruh Dion duduk, Airin menghitung sampai 5 untuk membuka matanya.
5
4
3
2
1
Airin membuka matanya dan melirik pelan ke bangku
sebelahnya. Dan…. Bangku itu masih kosong. Airin membelalakkan matanya dan
mencari sosok berbadan besar itu ke kursi para pembajak. Fuh….Airin bernapas
lega. Ia melihat sosok Dion tengah bercengkrama dengan temannya, yang Airin
rasa bernama Satria.
Tapi ini tidak membuat kegelisahan Airin menghilang.
Sekarang, Bu Ena tengah mengabsen murid-murid X3.
“Airinia Amelia.”
Airin mengangkat tangan. Shit,
lagi-lagi absen pertama. Airin mendengus pelan.
“Feriska Anindita.”
Airin membelalakkan matanya. Anyone but her….Airin membatin. Sudah cukup baginya sekelas dengan
para male
troublemaker, tidak perlu berurusan dengan versi femalenya. This is gonna be a tough year…. Batinnya.
“Rama Zulkarnaen. Revan Bagaskara.”
Tidak ada yang mengangkat tangan.
“Revan Bagaskara.”
Tidak ada jawaban lagi.
“Ada yang tahu kabar Revan?”
Tidak ada lagi yang menjawab.
“Atau yang satu SMP?”
3 orang mengangkat tangan.
“Dari SMP mana?”
“SMP 7 bu.”
“Ada yang tahu kabar Revan? Dia sakit atau… Pindah sekolah?”
“Setau saya sih, dia nggak pindah, bu.” Jawab anak laki-laki
yang duduk di baris tengah.
“Kenapa ya…” Gumam Bu Ena lalu menggerakkan pulpen di
tangannya di atas kertas absen.
Tok Tok
Pintu terbuka. Seorang cowok dengan nafas terengah-engah
berjalan masuk lalu menyalami Bu Ena. Semua mata tertuju padanya.
“Siapa namamu?” Tanya Bu Ena.
“Revan bu. Revan Bagaskara.” Jawabnya.
“Oh… Kamu yang namanya Revan. Kenapa kamu telat?”
“Macet bu.”
Jawaban klise.
“Maaf bu, saya janji nggak akan terulang lagi.” Tambahnya.
Airin mengangkat wajahnya. Mungkin cowok ini nggak seburuk
yang dia kira.
“Ya, jangan diulangi lagi ya. Silahkan duduk.”
Cowok bernama Revan itu mengangguk sebelum menoleh ke kanan
dan kiri, untuk mencari tempat kosong. Matanya menengok ke bangku sebelah Airin
, sebelum akhirnya pandangannya dan Airin bertemu. Revan berjalan ke arah
bangku Airin lalu segera mendudukinya.
Mata Airin tak terlepas dari sosok Revan, bahkan ketika ia
duduk tepat di sebelahnya. Entah mantra apa yang dimiliki Revan, sehingga Airin
tidak gelisah ketika Revan duduk di sampingnya. Gemuruh di perutnya pun sirna
sempurna.
“Eh, gue duduk disini gapapa kan?” Tanya Revan dengan nada
bersalah.
“Nggak, nggak apa-apa kok. Bangkunya kosong.” Jawab Airin
sambil memalingkan pandangannya dari Revan.
“Oooh. Oke. Nama lo siapa? Dari SMP mana?” Tanya Revan
ramah.
“Airin. Dari SMP 8.”
Revan menatap Airin terkejut. Airin membalasnya dengan
tatapan bertanya.
“Anak pinter dong lo.” Ujar Revan dengan senyuman bangga,
karena ia sebangku dengan murid dari sekolah unggulan se-Bekasi itu.
“Hmm… Gak juga.” Jawab Airin sambil tersenyum
Dan kemudian hening. Revan sibuk mengobrak-abrik tasnya, dan
Airin membolak-balik buku sejarahnya. Airin melirik sejenak kea rah Revan.
Entah kenapa ia ingin mengetahui identitas lengkap teman sebangkunya itu. Tentu
ia sudah tau nama dan asal sekolahnya. Tapi, ia pikir setidaknya ia harus tahu
sifat dan prestasi teman sebangkunya itu.
“Aish….”Gumam Revan, membuat Airin menoleh ke arahnya. “Eh,
gue gak bawa tempat pensil nih, boleh pinjem pensil, nggak? Hehehe…” Kata Revan
sambil menggaruk kepalanya dengan cengiran di wajahnya.
Kalau yang meminta cowok lain, Airin akan menjawabnya dengan
sejuta alasan kenapa Ia tidak memijaminya pensil. Tapi, karena Revan yang
meminta, Airin punya firasat baik tentang cowok di sebelahnya ini. Airin segera
menyerahkan pensil caplet 2.0 kepada Revan.
“Wah… Makasih ya. Maaf nih hari pertama udah bikin lo repot
aja, hehehe. Nggak gue ilangin deh, janji. Kalo ilang gue ganti kok…”
Cerocosnya lalu tersenyum. Airin tidak bisa tidak membalas senyuman Revan
dengan tersenyum pula.
“Santai aja, Van…” Jawab Airin sambil masih tersenyum.
Well, it’s not really
gonna be a long tough year…..
***
Maap gaseru...... Lagi mampet -,-V
-siapaya~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar