Rabu, 11 Januari 2012

Seuntai Kisah Cinta


“Aku akan melakukannya sekarang.” Ucapmu, membuat kepalaku yang tersembunyi di balik pintu loker yang terbuka itu  beralih ke wajahmu.
“Apa? Lakukan apa?” Tanyaku. Kau menjawab pertanyaanku dengan menunjuk ke belakangku. Aku mengalihkan pandanganku ke arah yang kau maksud. Dan aku mendapati gadis itu… Gadis yang menghancurkan mimpi besarku terhadapmu.
“Langsung menyatakannya?” Tanyaku.
“Enggaklah. Aku kan belom kenal sama dia, gimana sih?” Jawabmu dengan nada jenaka.
Kuukir senyum untuk menutupi segala kesedihan di balik wajah ini. Ku genggam buku-buku di dekapanku erat.
“Aku kesana ya. Wish me luck.” Ucapmu, lalu seperti biasa, menepuk pundakku sebelum kau berlalu.
“Semoga berhasil.” Ucapku dengan suara getir sebelum kau berlalu jauh. Hingga kau tak tergapai lagi.
                                                               ***
“Hei.” Kurasakan sebuah tangan menepuk pundakku. Gesture yang paling kukenal dari dirimu.
“Hei.” Balasku ketika kau duduk di sampingku. Kau diam. Mungkin kau berharap aku bertanya tentang ‘misi’mu kemarin itu. Mungkin.
“Coba tebak….” Katamu jenaka. Membuat hatiku terasa hangat dengan segala ucapan yang keluar dari bibirmu.
“Apa?” Tanyaku singkat. Mulutku masih terlalu berat untuk berucap padamu. Entah karena apa.
“Aku sudah kenal dengannya. Dan tebak apa, dia dan aku punya banyak kesamaan. Kau tahu itu semua sangat menyenangkan?” Ucapmu lalu merebahkan badanmu di atas rerumputan taman sekolah itu. Aku hanya tersenyum pahit tanpa menatap wajahmu.
“Kau kenapa? Suntuk sekali hari ini.” Tanyamu, lalu menatap wajahku.
“Tak apa. Minggu ini kan pekan ulangan. Itu agak membuatku frustasi.” Jawabku bohong.
“Jangan terlalu frustasi. Kau kan anak pintar. Meskinya aku yang frustasi karena aku bodoh sekali sama yang namanya pelajaran eksak. Kau tahu sendiri kan, aku hanya pandai olahraga saja. Ya paling jago bahasa Inggris dikit. Tapi kau…” Ucapmu dengan nada memberi semangat. Hal yang paling kusuka darimu. Hal yang paling bisa membuatku terbangun ketika terjatuh. Hal yang paling bisa membuatku bangkit dari segala keputusasaan. Itu semua karenamu. Dan ketika kau tak ada lagi disampingku, apakah aku akan selalu berada dalam keputusasaan?
                                                            ***
“Sa.”
Panggilan itu membuatku menoleh. Dan aku menatap wajahmu. Masih sama seperti yang lalu. Penuh ketenangan tapi jenaka. Aku bangkit dari dudukku lalu berjalan ke arahmu.
“Sudah lama juga kita gak bertemu.” Kau mendekapku. Aku terdiam. Jantungku terasa berhenti. Entah karena tak berdegup, atau degupannya terlalu kencang hingga tak dapat terasa. Aku membalas dekapanmu dan terhanyut seketika. Aku dapat merasakannya lagi. Aura tenangmu, harum badanmu, dekapan hangatmu. Aku dapat merasakannya lagi. Dan seketika membuatku teringat akan masa lalu ketika kau selalu mendekapku ketika aku sedang menangis. Menenangkanku. Dan kini, aku dapat merasakannya lagi.
“Sudah kerja, To?” Tanyaku.
“Sudah, syukur aku diterima di tempat kursus bola dan menjadi pelatih disana. Kamu sendiri, Sa?” Tanyamu.
“Aku sekarang jurnalis di majalah Fragile, lumayanlah kerja disana enak juga ternyata.” Balasku penuh semangat. Akhirnya kau kembali. Atau mungkin, aku kembali. Setelah 6 tahun lebih tak menjumpaimu. Akhirnya aku menemukanmu lagi.
“TORO!” Sebuah suara memanggil namamu. Kupalingkan pandanganku ke belakang badanmu. Kudapati seorang gadis yang dulu ku kenal. Gadis yang menghancurkan mimpiku. Kini ia datang lagi, seakan memberi pertanda buruk bagiku.
“Dhis? Udah gak betah kamu, di mobil? Tanyamu kepada gadis itu. Gadis itu berusaha mengatur napasnya lalu meninju bahumu pelan.
“Panas tau, Tor. Nih, kunci mobilnya.” Gadis itu memberikan sebuah kunci mobil ke tanganmu, lalu kau menerimanya dan mengacak rambut gadis itu. Siapa dia? Gesture mu itu kenapa…. Begitu manis terhadapnya?
“Makanya jangan ngeyel. Udah kubilang kan bakal panas.” Ucapmu lembut. Dan kau tidak pernah bicara selembut itu kepadaku. Gadis di depanmu hanya mencibir, lalu menatapku singkat.
“Siapa?” Bisik gadis itu kepadamu, tapi cukup terdengar jelas di telingaku.
“Oooh. Ini Rissa Angelica. Dia anak XII IPA-1 pas angkatan kita, yang pernah aku certain itu. Inget gak?” Tanyamu kepada gadis itu.
“Ooooooh. Ya ya ya. Rissa Angelica yang juara Writing Essay Competition itu kan? Anak kebanggaannya Pak Rahmat?” Ucap gadis itu sambil menatapku dengan tersenyum lebar.
“Iya, Dhis. Emang jenius ini dia.” Ucapmu. Aku memaksakan senyum lebar sambil terus menyimpan rasa penasaran. Aku menatapmu dan gadis itu bergantian, hingga kau menyadari sesuatu.
“Dan Rissa, ini Gendhis Utami, tunanganku.” Ucapmu dengan senyum teduhmu. Dan lagi, gadis itu menghancurkan mimpiku. Meski kau tersenyum teduh, tak kunjung membuat hatiku ini membaik. Dadaku terasa sesak. Seakan-akan ada beban berat yang membuat hatiku hancur berkeping-keping. Aku mencoba mengatur napasku yang mulai tak terkontrol. Ku kepalkan tanganku, mencoba menahan emosi yang berkobar-kobar. Namun dengan setengah hati, kucoba angkat sudut-sudut bibirku. Dan mencoba tersenyum setulus mungkin.
“Kau sudah tunangan? Selamat ya.” Ucapku lalu menjabat tanganmu singkat.
“Oh iya, dan ini…” Kau merogoh tas selempangmu. Tas yang dulu kau kenakan setiap hari Jumat, dengan alasan, jadwal pada hari itu sedikit sehingga kau menggunakan tas kecil agar tidak merepotkan. Lalu, tak berapa lama, kau menyerahkan barang yang kau ambil dari tasmu itu. Ku terima barang itu dengan tangan bergetar. Ku raih, dan ku baca kata paling atas. UNDANGAN.
Seketika, dunia menjadi gelap tak berwarna.
“Kami akan menikah Sabtu ini. Kau tidak keberatan untuk datang, kan?” Tanya Gendhis. Aku mendongakkan wajahku dan menatap Gendhis.
“Ya, tentu. Aku pasti datang.” Jawabku dengan suara bergetar.
“Rissa, kamu tak apa? Wajahmu pucat pasi.” Tanya Gendhis dengan suara khawatir. Aku tak menjawab. Aku menunggu sesuatu. Aku menunggu suaramu. Biasanya, kau selalu sigap bertanya ketika ada suatu yang salah pada diriku. Kini, apa kau tidak seperti itu lagi?
“Tak apa. Aku lembur kemarin. Biasa, deadline.” Ucapku berbohong. Aku tersenyum pahit karena suaramu tak kunjung terdengar.
“Kalau begitu, kami pergi dulu ya? Sampai ketemu Sabtu nanti, Rissa Angelica.” Ucapmu lalu tersenyum teduh sebelum menarik tangan Gendhis dan berlalu begitu saja dari hadapanku.
Senyuman teduh itu, adalah senyuman terakhirmu yang mungkin tidak akan pernah kulihat lagi. Karena, senyum itu bukan lagi milikku seutuhnya. Mungkin, senyummu, ragamu, jiwamu, dan cintamu, telah berada di tempat yang tepat. Meski itu bukan disini, bersamaku.
Mungkin cinta ini memang tercipta hanya untuk disimpan dan tak terucapkan. Tapi yang ku tahu, cinta ini hanya untukmu. Meski tak dapat memiliki cintamu. Karena, cinta mungkin tak harus memiliki.

meskipun ku sadari
tak mungkin memelukmu
waktu kau isyaratkan
bahwa dirimu telah bersamanya


meskipun tak mungkin lagi                                                                                                                                                                    tuk menjadi pasanganku
namun ku yakini cinta
kau kekasih hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar