Rabu, 14 Desember 2011

가을의 꽃` (Autumn’s Flower) P4

Cast: Hwang Raekyo, Kim Junsu, Lee Hoya, Yun Jiae, Lee Byunghun, Jung Eunji, Melanie, etc.
Genre: Romance, Angst (Ganti genre ya-_-)
[WARNING] Do not imagine me as Raekyo cause you will –surely- get sucks of it. Imagine her as someone you think fit to her personality. Enjoy this fanfic till the end no matter what you think of it hehe~ ^^
ps: maap kalo rada gombal terus kyk sinetron -.-V

그래도 , 아직은 보내니까~

Eunji memotong pisang dengan pisau yang ia bawa dari rumah. Setelah itu ia mengeluarkan garpu dan piring dari keranjang yang ia bawa. Menusukkan garpu pada sepotong pisang yang telah ia letakkan di piring lalu menyodorkan kepada laki laki di sebelahnya agar ia membuka mulutnya. Laki-laki itu duduk dengan kaki yang diluruskan dan badan yang bertumpu pada tangan. Baju lengan panjangnya ia gulung sampai siku. Ia memandang sisa-sisa daun yang masih ada di atas pohon. Musim panas berlalu begitu cepat.
“Hoya ssi.” Panggil Eunji kepada laki-laki itu hingga laki-laki itu menoleh.
“Apa Gommie kecilku?” Balas Hoya lalu menatap sepasang mata di hadapannya. Mulut si lawan bicara mengerucut.
“Janggu-ssi! Jangan panggil aku beruang lagi dooong.” Eunji melipat tangannya dan memasang tampang kesal.
“Kau juga memanggil aku Sinchan! Kita impas berarti hahahaha.” Hoya mengelus kepala perempuan di hadapannya itu. Eunji hanya tersenyum dan menunjukkan eyesmile mematikannya pada Hoya.
“Jangan tersenyum seperti itu! Kau membuatku malu.” Goda Hoya. Eunji mendorong tubuh Hoya perlahan hingga hampir tumbang. Eunji menyodorkan pisang kepada Hoya dan ia memakannya dengan lahap.
“Gommie ah. Ada apa kita kesini?” Tanya Hoya setelah menelan habis pisang yang dilahapnya.
“Janggu-ssi gak ingat? Hari ini kan 1st anniversary kita!” Seru Eunji tak percaya.
“Ingatlaaah. Siapa yang meneleponmu pas kamu masih ngigau tadi?” Hoya merangkul Eunji. Eunji nyengir. Ia ingat. Tadi pagi jam 5 KST *whichmeans3WIB* Hoya meneleponnya dan ia menjawabnya dengan suara amburadul. Wajar. Ia kemarin baru sampai dirumah pukul 11   gara-gara hujan deras dan dia harus menunggu setengah jam agar hujan reda supaya bisa ke stasiun. Tadi pagi saja ia hampir kebablasan tidur kalau saja alarm super loud hpnya gak bunyi.
“Tapi kan. Kita bisa ngerayainnya di tempat indoor. Sekarang udah mulai dingin. Kalau kamu flu gimana?”  Hoya mengelus kepala Eunji pelan-pelan. Eunji menyandarkan kepalanya ke bahu cowoknya itu dan memasang wajah cemberut. Lagi.
“Jangan marah gitu dong. Kan aku sayang kamu dan ini demi kebaikan kamu.” Kata Hoya lalu merangkul bahu Eunji. Eunji tersenyum kecil. Walaupun terlihat dari sorot matanya bahwa ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Because it’s the last time. It’ll be the last time, my dear Janggu.
                                                     ***
4th week of September 2009
“Aku tunggu di taman biasa ya, Janggu-ssi”, ujar Eunji di telepon.
“Gommie-ah, kau yakin? Ini sudah mau November, udaranya terlalu dingin. Jangan di taman ya? Di café dekat rumahmu saja, bagaimana?” Tawar Hoya dengan suara khawatir.
“Anieyeo. Ada yang ingin aku sampaikan.”
“Aku mengerti. Tapi kan tidak harus di taman. Bagaimana?”
“Hmm… Baiklah. Kalau begitu, di Stasiun. Setuju?”
“Itu jauh dari rumahmu…”
“Ini penawaran terakhir atau kita bertemu di taman.” Kata Eunji tegas.
“Eeeeeh. Iya iya. Di Stasiun, satu jam lagi. Aku akan disana.”
“Baiklah. Sampai ketemu disana.” Katanya lalu menutup telepon.
“Dasar perempuan.” Gumam Hoya. Ia segera mengambil jaket baseball dari atas kursi belajar dan menuruni tangga. Lalu berjalan dengan earphone terpasang di telinganya.

Ne-Yo – Never Knew I Needed

For the way you changed my plans
For being the perfect distraction
For the way you took the idea that I have
Of everything that I wanted to have
And made me see there was something missing (oh yeah)

For the ending of my first begin
(Ooh yeah yeah)(ooh yeah yeah)
And for the rare and unexpected friend
(Ooh yeah yeah)(ooh yeah yeah)
For the way you're something that I never choose
But at the same time something I don't wanna lose
And never wanna be without ever again (oh oh)

You're the best thing I Never Knew I Needed
So when you were here I had no idea
You're the best thing I never knew I needed
So now it's so clear I need you here always
 /never_knew_i_needed.html ]
My accidental happily (ever after oh oh oh)
The way you smile and how you comfort me (with your laughter)
I must admit you were not a part of my book
But now if you open it up and take a look
You're the beginning and the end of every chapter (oh oh)

You're the best thing I never knew I needed (oh)
So when you were here I had no idea
You're the best thing I never knew I needed (that I needed)
So now it's so clear I need you here always

Who'd knew that I'd be here (who'd knew that I'd be here oh oh)
So unexpectedly (so unexpectedly oh oh)
Undeniably happy (hey)
Said with you right here, right here next to me (oh)
Girl you're the...
 

You're the best thing I never knew I needed (said I needed oh oh)
So when you were here I had no idea
You're the best thing I never knew I needed (needed oh)
So now it's so clear I need you here always
Baby baby
Now it's so clear I need you here always

Nan, niga piryeohae, Jung Eunji, batinnya lalu tersenyum. Hoya berjalan menyusuri jalan hingga ada sebuah toko yang menarik matanya.
꽃집
Ia memasuki pintu toko itu dan melihat-lihat sekeliling. Hingga ada seorang pegawai menghampirinya.
“Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?” Tanya pegawai itu ramah.
“Euhm… Ya… Saya ingin mencari bunga musim gugur… Saya tidak begitu tahu di musim gugur ada bunga apa saja jadi…”
“Jangan khawatir. Untuk musim gugur, kami menjual paket khusus bu- nga musim gugur. Ada 7 macam bunga di satu buket. Satu buketnya 37000 won.” Jelas si pegawai.
“Baik, aku ambil satu buket.” Hoya tersenyum puas. Lalu ia segera membayar bunga itu dan kembali berjalan menuju stasiun.
                                                          ***
Hoya sampai di stasiun ketika belum ada tanda-tanda ceweknya sudah datang. Ia menyusuri stasiun, tapi ia bingung akan menunggu dimana. Howon babo! Harusnya kau tanya bertemu disana, dasar bodoh, Hoya menepuk keningnya dengan keras. Ia akhirnya terus berjalan hingga mendapati punggung yang ia kenal telah menunggu di depan tempat kereta berhenti. Mata Hoya membesar. Tidak percaya ia terlambat. Seumur-umur, baru kali ini ia terlambat menemui Eunji.
“Eunji-ah.” Panggil Hoya. Punggung itu menoleh dan tersenyum manis.
“Wasseo, Janggu-ssi?” Balas Eunji. Ia mengisyaratkan Hoya agar duduk di kursi sebelahnya.
Hoya mengeluarkan sesuatu dari punggungnya, membuat ceweknya tersentak kaget.
“Astaga… Apa ini?” Tanya Eunji kaget.
“Ini… Bunga-bunga musim gugur. Maaf aku nggak tahu apa bunga fa-
voritmu, jadi yang kepikiran di otakku cuma bunga di musim gugur.” Hoya menyerahkan bunga di tangannya kepada Eunji.
“Aigoo… Ini bagus banget, Janggu-ssi. Mulai hari ini, bunga-bunga ini jadi bunga favoritku. Musim gugur tahun depan, kasih aku ini lagi ya!” Ujar Eunji bersemangat. Membuat Hoya tersenyum lega.
“Ngomong-ngomong, Gommie ah. Ada apa kamu ingin bertemu denganku?” Tanya Hoya. Raut wajah Eunji berubah.
“Ah… Soal itu…” Ia meletakkan buket bunga itu di kursi sebelahnya. Lalu menatap wajah laki-laki di depannya lekat-lekat. “Aku bakal pergi ke Cina.”
Mata Hoya terbelalak. Mulutnya terbuka. Wajahnya tampak terkejut. “Ci...Cina?” Eunji mengangguk.
“Ya. Hanya untuk satu bulan kok, setelah itu aku akan pulang.” Ujar Eunji lalu tersenyum.
“Satu bulan?  Janji?” Hoya mengulurkan kelingking kanannya.
“Hmm… Janji.” Eunji mengulurkan kelingking kanannya dan melakukan ‘pinky swear’ dengan Hoya. Tangan kirinya menyentuh pipi Hoya. Ia tersenyum penuh arti. Seakan-akan itu yang terakhir.
                                                          ***
“Tapi dia enggak pernah kembali. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, hingga sepuluh bulan setelahnya, bulan Agustus tepatnya. Aku mendapat kabar. Ahjumma memberiku sebuah amplop yang katanya ada di kotak pos. Tentu aku membukanya.”
                                                          ***
Hoya duduk di tempat tidurnya dan melihat amplop itu. Dibacanya identitas pengirim.
SUNGCHA GROUP, Co.
Apgujong, Seoul.
“Siapa ini? Kok formal sekali.” Ia segera membuka amplop itu dan membaca surat itu dengan seksama.
Dear my Janggu, wherever you are :)
Sudah lama kita tak bertemu, Janggu-ssi? Aku sangat merindukanmu. Aku rindu piknik denganmu di taman. Aku rindu naik kereta untuk berangkat ke sekolah bersama. Aku rindu berjalan berkeliling kota bersama. Aku rindu tanganmu yang selalu merangkulku. Aku rindu kehangatan ketika kita bergandengan. Aku rindu senyumanmu yang selalu membuat segala penatku hilang. Aku rindu semuanya. Aku rindu padamu.
Tidak ada kamu disini, terlalu membosankan. Di Cina, Appa dan Eomma hanya mengajakku keluar untuk makan. Sekali-kalinya hanya ke taman safari. Sungguh membosankan. Aku sampai ngambek karena bosan. Tapi Appa dan Eomma tetap pada pendiriannya; Aku harus istirahat di atas kasur.
Janggu-ssi, maafkan aku yang tidak menepati janji. Sejujurnya, aku juga hanya ingin menetap sebulan disana, tapi apa dayaku? Tubuhku yang semakin melemah tidak memungkinkanku untuk kembali ke Seoul. Dan bertemu denganmu.
Lee Howon, dengan penuh penyesalan, aku minta maaf padamu. Aku minta maaf karena aku selalu merepotkanmu. Aku minta maaf karena aku bukan seseorang yang baik untukmu. Aku minta maaf karena kau menungguku dalam penantian yang tidak pasti. Aku minta maaf karena aku telah membohongimu selama ini. Aku minta maaf karena aku harus meninggalkanmu sendiri.
Hoya terdiam panjang. Napasnya yang terengah-engah kian terdengar karena kesunyian. Matanya mulai sembap, tapi didalam hatinya terus berkata bahwa kelemahan itu tidak boleh keluar, karena menangis adalah suatu kelemahan, begitu yang ia dapatkan dari ayahnya. Bayangannya mulai terbang ke bulan Agustus 2008, saat ia baru bertemu dengan seorang gadis yang merubah hidupnya hingga sekarang. Semua memori indah itu kembali terbayang dalam benaknya. Semua kenangan indah yang mereka buat. Tapi semua itu tak lagi layak untuk diingat bahagia. Semua itu kini tumpah dalam hati Hoya sebagai
kepingan masa lalu yang menyakitkan. Karena ia tidak bisa lagi merasakan kebahagiaan itu. Ia harus menerima kenyataan bahwa itu semua hanyalah masa lalu.
                                                          ***
“Hyung! Kau mau kemana? Sebentar lagi Abeoji pulang!” Seru adik Hoya dari depan pintu. Namun yang dipanggil tak menyahut. Ia terus berjalan. Setelah tadi menelepon nomor yang tertera di amplop, ia segera membulatkan tekad ke alamat yang telah diberikan kepadanya.
                                                          ***
Hoya memasuki bangunan megah yang berada di pusat kota Seoul. Ia menaiki kereta selama 10 menit untuk sampai kesini. Dengan buru-buru, ia meraih meja resepsionis dan bertanya untuk mencari informasi.
“Annyeonghaeseumnikka, ada yang bisa kami bantu?” Tanya pegawai dengan ramah.
“Ah ne. Dimana pasien bernama Jung Eunji dirawat?” Tanya Hoya tergesa-gesa.
“Jung Eunji? Jamshimanyeo…” Si pegawai segera menggapai keyboard komputer dan mengamati layarnya dengan teliti. “Jung Eunji. Kamar 305.”
“305. Kamsahamnida.” Hoya segera menaiki tangga dengan cepat. Agak sedikit berlari.
Setelah mencapai lantai 3, ia segera mencari pintu bernomor 305.
“302… 303… 304…” Gumamnya. “305.”
Hoya berdiri lama di depan pintu itu. Berargumen pada dirinya sendiri apakah sebaiknya ia masuk atau menunggu seseorang keluar dari ruangan itu. Setelah berpikir lama, akhirnya ia memutuskan untuk masuk. Ia menekukkan jari-jarinya, bersiap untuk mengetuk.
Mengetuk… Atau tidak?, batinnya lagi. Baru ia mau mengetuk ketika
seseorang membuka pintu itu. Seseorang itu mengenakan kemeja kerja panjang berwarna biru muda yang sudah kusut dengan jas hitam di tangannya. Spontan, Hoya langsung membungkuk begitu melihatnya.
“Lee Howon-ssi.” Ucapnya.
“N-ne. Tuan Jung.” Hoya merundukkan kepalanya lagi. Tuan Jung, yang merupakan ayah Eunji, meletakkan tangannya ke pundak Hoya. Lalu melihat ke dalam ruangan dan menatap Hoya. Mengisyaratkannya untuk masuk. Dengan ragu, Hoya mengangguk. Ia berjalan perlahan dengan tangan yang bergetar. Setelah beberapa langkah, ia dapat melihat seseorang terbaring lemah di atas ranjang kamar itu. Seseorang yang ia kenal selalu tersenyum riang, kini terbaring lemah. Terlihat seorang ibu duduk di tepi ranjang itu, menggenggam tangan si pasien, dengan mata yang basah.
Hoya terpaku melihat peristiwa di depan matanya. Kakinya sudah tidak kuat menjadi penumpu tubuhnya. Ia jatuh berlutut. Tangannya dikepal keras. Ia mencoba mengatur napasnya, mencoba menahan air mata. Walaupun akhirnya gagal. Matanya tetap menatap wajah gadis di ranjang itu.
Nyonya Jung yang kaget melihat pemandangan itu, panik dan segera membantu Hoya berdiri. Hoya mengumpulkan tenaga untuk berdiri lalu meraih pinggir ranjang dan menggenggamnya erat. Ia membasuh wajahnya, menghapus semua kesedihan di wajahnya dan mencoba tersenyum di depan Jung Eunji.
“Gommie ah. Deullinayo? Nan yeogisseo, Gommie ah.” Hoya menggenggam tangan Eunji erat. Berharap kedua mata penuh senyum itu terbuka lagi, dan memberi senyum terindahnya pada Hoya. Ia terus menatap wajah di hadapannya, menggenggam tangannya. Sekali-kali membelai kepalanya atau menyentuh pipinya. Sekeras apapun ia mencoba, Eunji tak bergerak sejengkalpun.
                                                          ***
“Eunji terkena kanker darah stadium akhir.” Ujar Tuan Jung. Begitu
Hoya keluar dari ruang rawat Eunji, Tuan Jung langsung mengajaknya berbicara di kafetaria rumah sakit.
“Sejak… Kapan?” Tanya Hoya lirih.
“4 tahun lalu. Awalnya kepalanya pusing. Saya dan istri kira, hanya demam biasa. Dua minggu sakit kepalanya tidak sembuh-sembuh. Ketika dibawa ke dokter, dia divonis kanker darah stadium awal.” Jelas Tuan Jung dengan suara berat. Sepertinya jam tidurnya berkurang karena menemani Eunji terus di rumah sakit.
“Apa tidak bisa sembuh?” Tanya Hoya penuh harapan.
“Kami mencoba. Karena itu dia dibawa ke Cina. Tapi, namanya juga takdir. Kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi.” Jawab Tuan Jung pasrah. Hening begitu lama. Hoya masih tidak percaya tentang semuanya. Ia butuh untuk sendiri. Untuk berpikir. Untuk menenangkan dirinya. Untuk percaya pada kenyataan.
“Saya…. Pulang dulu.” Hoya berdiri dari duduknya dan menundukkan kepalanya sejenak lalu membalikkan badan.
“Tunggu.” Panggil Tuan Jung. Hoya membalikkan badannya lagi. Tuan Jung memberikannya sebuah kotak. “Dari Eunji, untukmu.”
Hoya menerima kotak itu lalu menatapnya sebentar. Dimasukkannya kotak itu ke dalam tas ransel yang dibawanya.
“Kamshahamnida, Tuan Jung.” Hoya menundukkan kepalanya lalu segera beranjak pergi.
                                                          ***
“Kamsahamnida.” Hoya mengambil kembalian dari meja kasir lalu membuka botol minuman soda yang dibelinya. Ia membuka pintu minimarket itu dan menyebrangi jalan menuju taman.
Ia mencari kursi yang kosong. Setelah menemukannya, ia duduk sambil masih meminum soda botolan yang ia pegang. Ia teringat sesuatu. Kotak yang Tuan Jung berikan padanya kemarin. Ia membuka tasnya
dan mencari benda itu. Setelah menemukannya, ia membuka tutup kotak itu dan menemukan sebuah buku. Buku yang untuk pertama dan terakhir kalinya ia liat saat bertemu Eunji pertama kali di kereta. Hoya membuka buku itu. Membalik-balikkan halamannya. Ia menemukan kata-kata yang tak asing. You said that foolish dreams are poisonous. Just like a book that tells us about the end of the world. Kata-kata itu, batin Hoya. Ia membaca tulisan-tulisan di halaman itu.
They said, I’ll never be like before again. But like this song have said, I believe in my dreams. Whoever tells me to give up, I’ll still keep my faith goes on.
Hoya menutup buku itu. Di dalam kotak itu, ia menemukan benda lain. Sebuah gantungan kunci bergambar daun menjari. Hoya memasukkan kembali semuanya dalam kotak, dan memasukannya ke dalam tas.
                                                          ***
“Sebulan setelahnya, Tuan Jung meneleponku dan memberitahu bahwa Eunji sudah pergi untuk selamanya.” Tuntas Hoya. Raekyo menatapnya dengan tatapan sedih. Hoya menghela napas panjang. Dipijitnya tulang hidung atas, mencoba menghilangkan rasa sakit yang ia rasakan.
Raekyo yang mendengar semua cerita itu merasa ikut berduka. Ia tak menyangka, cowok yang ia kagumi mempunyai masa lalu yang pahit. Dengan yakin, Raekyo memeluk Hoya erat. Hoya membalas pelukan Raekyo.
“Gomawo.” Gumam Hoya pelan. Raekyo tetap diam. Hanyut dalam pelukan hangat seseorang yang kesepian.
                                                                         ***
Tobecontinued......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar