Minggu, 11 Desember 2011

Forever Love part 1

Cast: Kim Hyora, Lee Donghae, Park Yoochun, Im Yoona and other cast
Genre: Romance, Angst
Maap kalo jelek-_-


Don’t Say Goodbye
“Don’t say goodbye,
I can hear your heart telling me not to let go of your hands,
I can hear your heart, even if the world turns its back on us
Even if it’s a painful love,
You are my love, you are my soul.”
BRUK!
 “Ah, udah berapa kali lo ngejatohin itu. Udah gue bilang, biar gue aja yang bawa! Sini, kasih ke gue!” seru Lee Donghae sambil berjalan ke arahku yang sedang membereskan buku-buku yang terjatuh.
“Gak usah. Sekarang udah jam 4 sore, bukannya lo harus latihan sepakbola? Pasti yang lain udah nunggu. Kapten nggak boleh telat!” jawabku.
“Mereka bisa latihan tanpa gue. Ayo!”
“Yaudah. Tapi kalo lo dimarahin, gue gamau tanggungjawab.”
“Gue gak minta lo tanggungjawab, Hyora.”
“Lo...”
“Ayo cepet, bukannya lo harus ngerjain banyak tugas? Geografi, biologi, sejarah, bahasa Inggris, terus...”
“Hei! Itu tugas kelompok dan harusnya lo yang ngerjain! Gue udah ngerjain bagian gue!”
“Ayolah Hyora. Lo lebih pinter daripada gue dan lo tau kalau gue yang ngerjain tugas itu, nilai kita bakal sama kayak umur adek gue! Lima! Lo pasti nggak mau dapet nilai jelek,” Donghae mencoba mengelak.
“Ah, lo mah selalu gitu.”
“Hyoraaaaa, tolong. Kalo lo ngerjain tugas bagian gue, gue janji bakal menang di pertandingan minggu depan, terus gue traktir lo ke bioskop. Gimana?”
“Dan beliin gue novel.”
“Beres! Jeongmal gomawo Hyora-ssi. Lo cantiiik banget hari ini!” serunya sambil memelukku.
*****
Hari ini mengerikan. Aku salah membaca jadwal pelajaran tadi malam, dan akhirnya aku menghabiskan sepanjang hari dengan melakukan berbagai macam hukuman pemberian guru-guru. Untung ada Lee Donghae, aku bersyukur memiliki teman sepertinya. Melihatku dihukum, ia sengaja membuat masalah sehingga ia juga dihukum bersamaku. Sungguh bodoh, namun setidaknya ia membuat hari ini tak seburuk semestinya.
‘Hai, Hyora.’
‘Donghae? Ngapain lo disini?’ tanyaku.
‘Seperti yang lo liat,’ balasnya dengan senyum jahil.
‘Kelakuan apalagi yang lo perbuat, Donghae? Lo selalu aja nyari masalah,’ keluhku sambil mengangkat setumpuk buku perpustakaan yang berdebu.
‘Lo tau, gue gak tega ngeliat lo dihukum sepanjang hari. Berjam-jam duduk di perpustakaan, ngebersihin buku-buku, terus diatur lagi? Songsaenim pasti bercanda! Jadi gue bikin sedikit keributan di kelas biar gue bisa dihukum sama lo,’ jelasnya.
‘Dan apa yang persisnya lo lakuin sampe dihukum gini?’
‘Gue cuma nyalain iPod terus masang lagu. Terus gue lempar bola kertas ke depan kelas, dan secara gak sengaja kena kepalanya songsaenim. Gue tahu itu nggak sopan, tapi untung deh, karna dia langsung nyuruh gue keluar kelas dan nyusul lo ke perpustakaan.’
‘Bego! Apa yang ada di pikiran lo sampe lo berani ngelakuin itu?’ seruku keras.
‘Yang ada di pikiran gue? Seseorang bernama Kim Hyora, lagi dihukum di perpustakaan, dan betapa menyenangkannya kalo gue bisa ada di luar kelas bareng dia.’
Sungguh aneh anak itu. Entah mengapa, belakangan ini ia sering mengatakan hal-hal semacam itu. Yah, kuakui kadang aku senang, namun aku tak terlalu mengharap ia melakukannya. Aku tak ingin peristiwa yang dulu pernah terjadi kembali terulang. Bukankah menyakitkan mengalami kejadian buruk yang sama dua kali?
*****
Seoul High School sudah ramai pagi ini. Aku dan Park Hyunsoo baru masuk kelas ketika Jung Yoora menghampiri kami.
“Eh, lo tau nggak, ada anak baru di kelas kita!” katanya.
“Oh ya? Siapa namanya?” tanyaku.
“Im Yoona.”
“Hmm. Dari namanya, kayanya dia menyenangkan buat dijadiin temen,” ujar Hyunsoo.
“Lo belom liat orangnya, Hyunsoo. Mukanya agak angkuh, terus... nah, itu dia orangnya!” seru Yoora pelan sambil menunjuk ke arah pintu kelas. Aku dan Hyunsoo memalingkan muka.
“Mana? Kok gue nggak liat?”
“Ituuu yang rambutnya panjang! Yang lagi ngomong sama Donghae!”
“Yang mana sih?” tanyaku.
“Hyora?” tiba-tiba Yoona memanggilku.
“Eh?” jawabku agak bingung.
“Lo Hyora? Kim Hyora kan?” katanya sambil berjalan ke arahku.
“Iya. Kok lo bisa tau nama gue? Bukannya kita baru ketemu hari ini?”
“Baru ketemu hari ini? Hei, gue Im Yoona. Park Yoochun, Im Yoona, Kim Hyora. Pasti lo inget.”
“Tunggu. Lo... Yoona... Yoon... Ah! Gue inget,” kataku datar.
“Tentu aja lo inget! Well, gue gak nyangka kita bisa ketemu lagi disini. Semoga hari-hari kita kembali indah kayak dulu!” serunya riang. Kemudian ia memelukku dan berjalan ke tempat duduk paling depan.

Keesokan harinya di cafetaria.
“Sekarang jelasin, ada apa sebenernya di antara lo, Yoona, dan Yoochun,” ujar Donghae sambil berjalan ke arah tempat dudukku, Yoora, dan Hyunsoo.
“Iya. Gue juga penasaran. Kenapa dia bisa kenal lo sama Yoochun? Kalian pernah ketemu dimana?” tanya Hyunsoo.
“Jangan cerita disini. Gue gak enak, takut kedengeran yang lain,” kataku.
“Gapapa. Cafetaria lagi rame. Gak bakal ada yang denger selain kita,” timpal Yoora.
“Entar aja ah.”
“Lo tau kita paling gak pengen dibikin penasaran. Ayolah cerita, pelan-pelan aja ngomongnya.”
“Yaudah,” aku mengalah. “Jadi, pertamanya...”
“Hei! Siapa sih?” Donghae berseru keras, kaget karena matanya tiba-tiba ditutup.
“Tebak gue siapa?”
“Gak lucu. Buruan buka!”
“Ah lo gak seru. Masa lupa sama gue,” kata Yoona sambil membuka mata Donghae.
“Gimana mau inget, ini kan pertama kalinya dia ketemu lo,” seru Yoora ketus.
“Dan ini pertama kalinya lo ketemu gue, jadi kalo gue lagi ngomong gausah nyamber,” balas Yoona.
“Heh...”
“Udah udah. Gausah berantem. Lo mau ngapain kesini, Yoona?” tanyaku, menengahi adu mulut mereka.
“Oh, gapapa. Ada yang mau gue bicarain sama Donghae. Terus, gue mau ngasih ini buat lo. Jangan dibuka sekarang,” katanya sambil menyerahkan sebuah amplop kepadaku.
“Kok kayanya gue kenal ya sama bentuk amplop kayak gini,” gumamku pelan.
“Iyalah. Cuma dia yang punya amplop kayak gitu,” katanya. Aku tersentak dan segera memandang wajahnya. “Dan cuma lo yang menurutnya berhak dapet amplop itu.”
Lalu ia pergi menarik Donghae, meninggalkanku dalam sejuta pertanyaan yang tak terjawab.
*****
Setelah jam istirahat berakhir, aku tak bisa berkonsentrasi. Mungkinkah surat ini dari..... ah, tapi mana mungkin, pikirku berkali-kali.
Annyeong! Aku pulang!” teriakku begitu sampai di rumah.
“Bisa nggak sih lo masuk rumah gak pake teriak?” Hyuna, kakakku, muncul dari tangga sambil memasang tampang cemberut.
“Gak usah bawel. Dan jangan ganggu gue malem ini,” ujarku sambil menutup pintu kamar.
Jantungku berdebar-debar saat kubuka amplop itu. Ada selembar kertas di dalamnya, dan tulisan tangan yang sepertinya kukenali.
Untuk Kim Hyora, sahabat terbaikku.
Aku tahu kau pasti tidak senang saat tahu kepada siapa aku menitipkan surat ini. Tapi inilah satu-satunya cara agar aku bisa menghubungimu, meski saat surat ini sampai, mungkin keadaan telah banyak berubah.
Apa kabar, Hyora? Aku yakin kau baik-baik saja di sana, dan kuharap aku benar. Aku sendiri cukup baik, meski tak sebaik bila aku berada di sana bersamamu dan kehidupanku yang dulu.
Sejak pertama kali meninggalkan Seoul, aku merasa hidupku tak akan sama lagi. Tak ada lagi suara tawamu saat kita bermain di bawah guyuran hujan, juga tak ada tangan yang menuntunku menggambar bintang di langit malam. Aku benar-benar merasa kesepian, Hyora, dan aku tak tahu bagaimana caranya menghilangkan rasa bersalah karena telah meninggalkan kau yang menemani sepuluh tahun masa kecilku tanpa memberitahumu terlebih dulu.
Aku minta maaf karena aku belum sempat memberitahumu apa yang terjadi. Kau mungkin marah padaku, dan aku merasa layak menerimanya. Tapi kuharap kau sekarang mau membaca ini dan menerima permintaan maafku.
Enam tahun sudah berlalu saat terakhir kali kita bersama-sama melukis pelangi di balkon rumahmu. Saat itu kau terlihat sangat gembira. Aku ingat kau mewarnai wajahku dengan cat biru, dan aku membalasnya dengan menumpahkan air ke bajumu.
Ketika aku sampai di rumah, aku melihat appa menampar umma, lalu ia pergi meninggalkan kami. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Kemudian noona datang dan memberitahuku kalau appa dan umma memutuskan untuk bercerai. Aku semakin bingung. Aku masih sepuluh tahun dan kata-kata cerai terasa asing bagiku. Semua berlalu begitu cepat, aku tak menyadari apa yang terjadi selanjutnya. Yang kuingat, tiba-tiba aku sudah berada di sini, di negeri yang bahkan aku tak tahu apa namanya waktu itu, jauh dari Seoul.
Aku tersesat ke dunia yang baru, dunia yang tak memiliki rasa belas kasihan. Di sini aku tak bisa mengenali diriku sendiri. Aku kehilangan arah, kehilangan cinta orangtua, kehilangan teman-teman, dan ya, kehilangan kau, Hyora. Dan ketika aku membutuhkan perhatian seorang kakak, noona meninggalkanku dan umma untuk mengambil beasiswa di luar negeri.
Aku tak mengerti bagaimana aku bisa bertahan, tapi syukurlah, sampai saat ini aku masih bisa menemuimu meski hanya dalam mimpi. Tak pernah melihatmu selama enam tahun, setelah sepuluh tahun aku hampir selalu bersamamu, sungguh bukan hal yang kuinginkan. Namun keadaan memaksaku untuk tetap berdiri di sini, jauh darimu.
Surat ini sampai kepadamu lewat Im Yoona, bukan? Aku tahu itu bukan cara yang tepat, tapi secara tak sengaja aku bertemu dengannya di negeri ini. Saat aku sedang berjalan-jalan di pusat kota, tiba-tiba aku dikejutkan oleh kehadirannya. Lalu ia bilang padaku bahwa beberapa hari lagi ia akan kembali ke Seoul, sehingga kuputuskan untuk menitipkan surat ini. Memang sangat kecil kemungkinan surat ini untuk sampai kepadamu, namun aku percaya suatu hari kau akan membacanya.
Yah, mungkin hanya itu yang bisa kusampaikan. Oh ya, Hyora, apakah kau masih menyimpan kotak musik kembar itu? Aku akan senang kalau kau masih menyimpannya.
Tiba-tiba aku teringat pada film yang sering kita tonton dulu. ‘Never say goodbye cause goodbye means going away, and going away means forgetting’, aku selalu ingat itu, dan aku bersyukur karena aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal waktu itu, karena berarti aku tak pernah melupakanmu. Mungkinkah semua ini adalah takdir? Jika ya, aku berharap takdir akan membawa kita kepada kejutan yang lain.
Bogoshipeoyo, Kim Hyora. Always.
Park Yoochun.

Aku tak bisa lagi membendung semua perasaan yang telah kutahan selama bertahun-tahun. Air mataku tumpah, membasahi surat yang kini kupegang erat di tangan.
Ne, nado bogoshipeoyo, Park Yoochun, bisikku lirih. Maafkan aku karena telah berprasangka buruk tentang kepergianmu.
Sambil memegang surat, kubuka kotak musik itu. Ditemani alunan musik, aku membuka jendela dan memandang langit malam. Ada setitik bintang di kejauhan, dan seketika pikiranku kembali memutar kenangan pahit saat ditinggal seseorang yang telah mengisi hatiku selama ini.
*****
“Ada sesuatu yang pengen gue tanyain ke lo,” kata Yoona.
“Apaan?” tanya Donghae.
“Tapi lo harus janji, jangan pernah bilang sama siapapun kalo kita pernah ngomongin soal ini.”
“Tunggu dulu, ini ada hubungannya sama Hyora gak? Gue gak janji bisa jawab ya. Tergantung pertanyaan lo apa.”
“Iya, tentang Hyora. Oh ya, sebelom gue nanya, lo udah tau hal ini belom?” Yoona membisikkan sesuatu pada Donghae.
“Hah? Gak mungkin!” seru Donghae kaget.
*****
“Hyora? Kenapa lo sedih gitu? Ada masalah?” tanya Donghae ketika aku menjatuhkan tas di sebelah mejanya.
“Enggak kenapa-napa sih. Eh iya, gue ada cerita. Lo mau denger?”
*****
“Lo yakin itu beneran dari Yoochun? Maksud gue, mungkin gak kalo surat itu dibikin sama Yoona buat mempermainkan lo? Soalnya mukanya kayanya pendendam gitu deh. Kesel gue liatnya,” kata Donghae.
“Gak mungkin. Suratnya ditulis pake tulisan tangan, dan gue yakin itu tulisan tangan dia. Dari dulu tulisannya gak berubah,” kataku yakin.
“Oh ya, lo belom bilang. Lo kenal Yoona darimana? Dia baru pindah beberapa hari kesini tapi udah tau hampir separo dari cerita lo.”

Tobecontinued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar