Cast : Jung Yoora, Kim Jaejoong.
Genre : Angst, Romance.
WARNING! BAHASA LEBAY PARAH, TYPO DIMANA-MANA, PLOT PASARAN,
DAN SEGALA KEKURANGAN DISANA SINI. MAAF BANGET YAAAAHHH, MAKLUM FANFIC PERTAMA.
TERIMA KASIH UDAH MAU BACA. RCL YAAAAA (?). TERAKHIR, JANGAN BAYANGIN YOORA ITU
GUE.
Sha-la-la-la-la
Sha-la-la-la-la
Sha-la-la-la-la
Dentingan melodi yang indah itu tertangkap telingaku. Memang
indah, tapi itu dulu, sebelum sesuatu mengubahnya.
Flashback
Saturday, 9th of June 2007 5:00 PM.
Hari
itu, aku bertemu dengan seorang namja disebuah toko alat musik. Ia memakai baju
lengan panjang berwarna hitam yang terlihat sedikit longgar, celana jeans
hitam, dan topi. Ia sedang melihat-lihat piano yang ada disana. Tiba-tiba,
handphone-nya berdering, ia pun segera mengangkatnya.
“Yoboseyo? Ne, umma. Waeyo?”, sapanya
dengan lembut. Suaranya merdu sekali.
“Joongie harus pulang sekarang?
Arraso. Ne, annyeong.”,
Joongie?
Itukah namanya? Waaah, nama panggilannya lucu sekali. Kulihat dia berjalan
kearah kertas not balok. Ah iya, aku kan juga ingin membelinya. Akupun
mengambil satu-satunya gulungan kertas not balok yang tersisa. Tak disangka-sangka,
ia juga mengambilnya. Tanganku dan tangannya tak sengaja bersentuhan. Refleks
kami menarik tangan kami masing-masing.
“Ah mianhamnida. Kau saja yang
mengambilnya.”, ucapnya.
“Aniyo, kau duluan yang
mengambilnya.”, ucapku sopan.
“Kau saja. Mungkin kau lebih butuh.
Lagipula kau yeoja, jadi namja harus mengalah untuk yeoja.”
“Ani, kau saja.”
“Ah permisi, aku mau mengambil kertas
not balok itu.”, ucap seorang ahjumma menyela pembicaraan kami dan mengambil
kertas itu.
“Aah, mianhamnida …”, ucapku
menggantung.
“Kim Jaejoong.”, ucapnya. Rupanya dia
mengerti maksudku.
“Ah ne, mianhamnida Kim Jaejoong-shi.
Kau tidak bisa membeli kertas itu karena aku.”
“Ah, Gwaenchanha …”
“Jung Yoora imnida.”
“Gwaenchanha, Yoora-ssi.”, balasnya
sambil tersenyum padaku. Aaah, senyumnya seperti malaikat.
Akhirnya
kami pulang bersama. Kebetulan rumahnya searah dengan rumahku. Sejak saat itu kami
pun dekat. Kami sering jalan-jalan bersama, makan siang, atau berkirim pesan.
Seperti sore ini, kami duduk di tepi sungai Han sambil berbincang dibawah sebuah pohon yang rindang.
Saturday, 8th of September 2007 4:30 PM.
You used to call me your angel
Said I was sent straight down from Heaven
Said I was sent straight down from Heaven
“Yoora-ya, kau mau dengar aku bernyanyi?”, ucapnya seraya menatap
mataku.
“Jeongmal? Kau bisa bernyanyi, oppa?”, mataku membulat mendengar
pertanyaannya.
“Tentu. Bagaimana? Kau mau mendengarnya?”
“Ne, oppa.”
Over every night and over every day
Stay by my side only
Will you become my girlfriend
To fill the empty left side of my heart?
Look carefully, you're inside my eyes
I'm only a heartbeat away
Silently close your eyes and turn around
The wind carries these words (my voice)
"I love you so much, my heart might explode"
I'm the only your heartbeat
Every night, every day
The world becomes more beautiful
The moment I saw you
You were the biggest present the heavens have sent me
You're my only one
Over every night and over every day
Stay by my side only
Will you become my girlfriend
To fill the empty left side of my heart?
Look carefully, you're inside my eyes
The moment I saw you
You were the biggest present the heavens have sent me
You're my only one
Over every night and over every day
Stay by my side only
Will you become my girlfriend
To fill the empty left side of my heart?
Look carefully, you're inside my eyes
I'm only one
I'm here to love you
I'm only one heartbeat away
I'm here to love you
I'm only one heartbeat away
Aku tersenyum mendengar suaranya. Suaranya indah sekali. Hatiku
terasa tenang saat mendengarnya. Liriknya begitu manis. Andai ia menyukaiku,
tapi itu tidak mungkin. Aku tak pantas untuknya.
“Cheonsa-ya! Kenapa kau melamun?”, ia melambai-lambaikan tangannya
didepan wajahku.
“Aah, miahae, oppa. Tadi oppa memanggilku apa? Cheonsa?”, tanyaku
bingung.
“Ne, senyummu seperti malaikat jadi aku memanggilmu ‘Cheonsa’. Kau suka?”
“Waaaah, gomawo oppa. Johayo! Oppa, aku ingin memanggilmu ‘Cheonsa-oppa’
juga. Bolehkah?”, tanyaku penuh harap.
“Waeyo?”
“Karena oppa adalah malaikat pelindungku.”, jawabku malu-malu.
“Jeongmal? Ne, kalau begitu kita Cheonsa Couple!”, ucapnya
bersemangat sambil merangkulku.
“Cheonsa Couple? Memangnya kita Couple? Kita kan teman, oppa.”
“Kita ini couple, Cheonsa-ya. Baru saja aku menyatakan perasaanku
padamu. Apa kau tidak sadar?”, ujarnya sedikit kecewa.
“Tapi aku kan belum menjawab, oppa.”, rajukku, aku takut ia marah.
“Kalau begitu, apa jawabanmu? Will you be my girlfriend, Jung
Yoora?”
“I will.”, jawabku sambil menampakkan senyum terbaikku.
Kedua matanya membulat sempurna. Jelas sekali ia kaget dengan
jawabanku. Beberapa detik kemudian, kurasakan sepasang tangan yang kekar melingkar
di pinggangku.
“Gomawo, Cheonsa-ya.”,
ujarnya sambil mengelus rambutku.
“Ne, Cheonsa-oppa.”, gumamku dalam pelukkannya.
Matahari terbenam itu menjadi saksi bisu dimulainya hubungan kami
berdua. Aku merasa mejadi orang paling bahagia di dunia. Aku beruntung dapat
memilikimu, oppa.
Monday, 17th of December 2007 10:00 AM.
Hari ini aku akan mengunjungi Jaejoong oppa di lokasi pembangunan
rumah kami. Ya, kami akan segera menikah tahun depan. Maka dari itu, Jaejoong
oppa mempersiapkan sebuah rumah untuk kami.
‘Chajatda nae sarang naega chatdeon saram, ddeugeopge anajugo
shipeo’
“Yoboseyo? Waeyo, oppa?”, aku mengangkat telepon. Ternyata dari
Jaejoong oppa.
“Neon eodie?”
“Aku masih dijalan, oppa. Wae?”
“Ppalli! Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.”
“Ne, sebentar, oppa. Sudah ya, annyeong!”
“Annyeong!”
Kututup handphone ku. Aku memacu kecepatan mobilku. Batinku
bertanya-tanya, ‘Apa yang ingin ia
tunjukkan?’. Aku menyetir dengan tergesa-gesa. Sampai akhirnya,
‘CKIIIIT BRAK BRUK’
Mobilku menghantam truk barang. Tubuhku menghantam setir
mobil. Kaca mobilku pecah tertimpa barang bawaan truk tersebut. Itu yang
terakhir kulihat, sebelum semuanya gelap.
6:30 PM.
Aku terbangun karena
aku merasakan ada yang memegang tanganku. Aku mencium bau obat-obatan yang
menyengat. Ini pasti rumah sakit. Aku ingin bergerak, tapi tak bisa.
“Oppa…”, ucapku
lirih.
“Ne? Cheonsa, kau
sudah sadar?”, sahutnya. Dari nada suaranya aku tahu ia khawatir.
“Hmm, aku dimana?
Kenapa semua gelap? Kenapa tubuhku sulit digerakkan?”
“Kau dirumah sakit.
Matamu memang diperban.”
“Memangnya mataku
kenapa, oppa? AAAAAA…”, jeritku kesakitan.
“Waeyo, Yoora? Gwaenchanha?”
“Jantungku sakit sekali, oppa!”
“Tunggu sebentar aku panggilkan dokter.”
Dokter pun datang dan memeriksaku. Dapat kurasakan
alat-alatnya menyentuhku. Dapat kudengar ia memanggil Jaejoong oppa. Ada apa?
Terdengar bisikan Jaejoong oppa dan dokter itu.
“Ada apa,dok? Yoora baik-baik saja kan?”, tanya Jaejoong
oppa.
“Hmmm, sebenarnya ada masalah. Matanya rusak akibat terkena
pecahan kaca. Kami tidak tahu apakah ia dapat melihat lagi atau tidak. Itu
tergantung hasil saat perbannya dibuka besok pagi. Dan yang lebih parah adalah
jantungnya. Jantungnya bocor karena benturan keras terhadap setir mobil. Tulang
rusuknya juga retak. Kami harus segera mencari donor jantung untuknya. Jika
dalam 3 hari belum ada pendonor, mungkin kita akan kehilangannya.”, jelas
dokter tersebut panjang lebar. Napasku tercekat. Aku tak tahu harus bagaimana.
Apa hidupku akan berakhir 3 hari lagi? Apa aku akan hidup dalam kegelapan? Dan
yang lebih kutakuti adalah, apa Jaejoong oppa masih mau menerima orang cacat
sepertiku? Air mataku mengalir saat memikirkannya. Aku tidak punya siapa-siapa
lagi selain Jaejoong oppa.
Tuesday, 18th of December 2007 8:30 AM
Hari ini perban di mataku akan dibuka. Sejak tadi malam aku
terus memegangi tangan Jaejoong oppa. Aku takut gelap. Aku berfikir, bagaimana
jika hidupku akan selamanya gelap? Aku benar-benar ketakutan. Kudengar pintu
terbuka dan suara beberapa langkah orang. Mungkinkah itu dokter? Inikah saatnya
perbanku dibuka?
“Annyeong, Yoora-ssi, Jaejoong-ssi. Nah, Yoora-ssi, apakah
anda sudah siap?”, tanya dokter itu.
“Ne, dokter.”, ujarku gugup.
“Baiklah suster, tolong buka perbannya sekarang.” kurasakan
perbanku mulai dibuka. Jaejoong oppa pun mengeratkan genggamannya seolah
memberi kekuatan padaku.
“Tenanglah, semua akan baik-baik saja, yeobo.”, bisiknya di
telingaku.
“Yoora-ssi, perbannya telah dibuka. Coba buka mata anda
pelan-pelan. Jangan dipaksakan.”, ucap dokter itu.
Perlahan tapi pasti, kubuka kedua mataku. Aku rasa aku sudah
membukanya. Tapi mengapa masih gelap? Aku menutup mataku lagi dan membukanya
perlahan. Tetap gelap. Apa aku..
“Kenapa gelap sekali? Apa mati lampu? Perbanku belum dibuka
ya?”, ujarku panik.
“Mianhamnida, Yoora-ssi. Mata anda rusak dan anda mengalami
kebutaan permanen.”, sesal dokter
itu.
“Ini pasti tidak mungkin! Ini salah!”, aku mengosok mataku
dengan gusar, mencoba mengerejapkannya, tapi tetap gelap.
“ANDWAE!!! AKU TIDAK BUTA, OPPA! AKU TIDAK MAU BUTA! AAAAAAAA”,
teriakku frustasi.
“Cheonsa-ya, tenanglah.”, ujarnya sambil memelukku.
Pelukannya membuatku sedikit tenang.
“Oppa, eotteohke? Aku buta sekarang. Lebih baik oppa cari
yeoja lain saja, yang sempurna, tidak cacat sepertiku.”, ujarku lirih. Entah
mengapa kata-kata itu terlintas di otakku.
“Babo! Mana mungkin aku mencari yeoja lain? Aku hanya
mencintaimu, cheonsa-ya.”, pekiknya sambil menepuk kepalaku pelan.
“Lagipula umurku tinggal 2 hari lagi kan, oppa? Jantungku
bocor dan aku tahu mencari donor jantung itu tidak mudah.”
“Jangan berkata seperti itu! Aku akan berusaha agar kau bisa
sembuh.”
“Aku harap begitu, oppa.”, aku tertidur dipelukkannya.
Wednesday, 19th of December 2007 9:00 AM
Aku kecewa sekali. Kau tahu? Jaejoong oppa sering pergi
sekarang. Seperti saat ini, aku sendirian di ruang rawatku. Aku tak tahu ia
pergi untuk apa. Ia tidak pernah menjawabnya.
“Apa Jaejoong oppa sengaja menjaga jarak denganku? Agar jika
aku mati nanti, ia tidak terlalu sedih.”, gumamku.
“Apa Jaejoong oppa mencari yeoja lain?”, kraaaak, terdengar
suara pintu terbuka.
“Apa yang baru saja kau katakan, Yoora-ya!?”, bentaknya
padaku. Aku tahu itu Jaejoong oppa.
“Ah oppa sudah datang. Sudah dapat yeojachingu baru ya?
Chukkae!”, ujarku dingin.
“Maksudmu apa, Yoora!?”, bentaknya semakin keras. Kurasakan
tangannya menggenggam tanganku.
“Aku tahu semuanya, oppa. Aku tahu oppa sengaja menjauh
dariku dan mencari yeojachingu baru kan? Terserah oppa. Toh besok juga aku
sudah mati.”, aku menghempaskan tangannya begitu saja.
“TERSERAH APA KATAMU, JUNG YOORA!”, pekiknya sambil
membanting pintu ruang rawatku.
Saat itupun air mata yang sedari tadi kutahan tumpah. Jujur,
hatiku sangat sakit ketika aku mengatakannya. Aku menyesal. Sungguh aku tidak
bermaksud menyakitinya. Ah, jeongmal mianhaeyo, oppa.
Kudengar suara pintu terbuka. Mungkinkah itu Jaejoong oppa?
“Annyeonghaseyo, Yoora-ssi.”, suara dokter itu tertangkap
pendengaranku.
“Annyeonghaseyo.”, sapaku.
“Donor jantung dan mata untuk anda sudah ada, Yoora-ssi. Besok
pagi kita mulai operasinya.”
“Benarkah? Tapi boleh saya tahu siapa pendonor itu? Agar saya
bisa berterima kasih kepada keluarganya.”
“Mianhamnida, Yoora-ssi. Tapi pendonor ini tidak mau
diketahui identitasnya.”
“Ah, baiklah. Kamsahamnida, dokter.”
“Ne. Annyeong, Yoora-ssi.”
“Annyeong.”
Siapa pendonor itu? Mengapa ia tidak mau identitasnya diketahui?Ah
yasudahlah, lebih baik aku menelepon Jaejoong oppa saja. Tapi tunggu dulu, apa
Jaejoong oppa masih mau menerimaku? Lebih baik aku tidak memberitahunya.
Thursday, 20th of December 2007 8:00 AM
Kini, hari yang
kutunggu telah tiba. Hari ini aku akan dioperasi. Aah, aku ingin cepat melihat
kembali. Rasanya, 3 hari tidak melihat, hidupku bosan sekali. Sekarang, aku
berada di taman rumah sakit. Merasakan udara pagi yang segar.
“Andai Jaejoong oppa
ada disini. Pasti menyenangkan.”, ujarku lirih. Ya, tadi malam memang Jaejoong
oppa tidak menemaniku dirumah sakit. Bahkan, sejak kemarin, kami belum
berbicara lagi. Seseorang menepuk pundakku dan berkata.
“Annyeonghaseyo,
Yoora-ssi. Operasi akan dimulai 15 menit lagi. Mari saya antar ke ruang
operasi.”, ujar suster itu ramah.
“Ne.”, aku
dituntunnya menuju ruang operasi. Sesampainya disana, aku diminta berbaring
karena aku akan dibius.
“Baiklah, operasi
akan dimulai. Anda siap, Yoora-ssi?”, tanya dokter itu.
Aku mengangguk.
Dokter itupun menyuntikan obat bius padaku. Setelah itu, semuanya gelap.
5:00 PM
“Nggghhhh...”,
gumamku.
“Oh, anda sudah
sadar, Yoora-ssi? Bisakah anda duduk? Saya akan membuka perban di mata anda.”,
ucap suster itu lembut.
“Ne.”, aku mencoba
untuk duduk. Setelah itu perbanku dibuka. Perlahan, aku membuka mataku, dan aku
bisa melihat!
“Yoora-ssi. Ada
titipan dari pendonor jantung dan mata untuk anda. Ia bilang lihat ini setelah
anda keluar dari rumah sakit.”, suster itupun memberi sebuah kotak padaku.
“Ne, kamsahamnida.
Suster, kapan saya boleh pulang?”
“Anda bisa pulang 3
hari lagi. Tapi minggu depan anda harus kontrol ke rumah sakit untuk mengecek
jahitan di dada anda.”, jelas suster itu.
“Kamsahamnida,
suster.”
“Ne.”, suster itupun
keluar dari ruang rawatku. Aku melihat kotak bermotif koran itu. Kira-kira
siapa yang memberikannya? Dan apa isinya?
Sunday, 23rd
of December 2007 9:00 AM
Whoaaaah, akhirnya
aku bisa keluar dari rumah sakit setelah 6 hari dirawat. Aku bergegas menuju
kamar dan membuka kotak itu. Ada banyak kertas disana. Kubaca kertas itu satu
persatu. Struk belanja? Tiket bioskop? Tiket kereta? Tiket bus? Bill? Apa apaan
ini? Ada sebuah kertas kecil berwarna hijau terselip diantara kertas-kertas
itu. Aku pun mengambil dan membacanya.
‘Cheonsa-ya, lihat
isi CD itu.’ Cheonsa-ya? Mungkinkah ini dari Jaejoong oppa? Kenapa perasaanku
jadi tidak enak begini? Aku mengobrak-abrik kotak itu dan menemukan sekeping CD
lalu memutarnya.
“Annyeonghaseyo, Kim
Jaejoong imnida.”, sapanya dengan senyum malaikatnya itu.
“Cheonsa-ya, aku sengaja
membuat video ini untukmu. Karena kau ingin kau selalu ingat padaku. Dari
pertama kita bertemu, aku langsung menyukaimu. Kau orang yang ramah, baik,dan
cantik tentunya. 8 September 2007, ditepi sungai Han, sore itu, aku menyatakan
perasaanku padamu. Tak kusangka kau menerimanya. Woaaah, aku bahagia sekali.
Aku tidak mau berlama-lama. Aku memutuskan tahun depan akan melamarmu dan kita
akan menikah. Aku mulai membangun rumah untuk kita nanti. 17 Desember 2007,
saat kau akan mengunjungiku ke lokasi pembangunan rumah kita, kau kecelakaan.
Aku mengemudi secepat mungkin. Kau tahu bagaimana perasaanku? Aku khawatir
setengah mati! Aku menghampirimu yang terbaring di kasur rumah sakit dengan
mata diperban. Dokter mengatakan kau buta dan jantungmu bocor. Ia mengatakan
kalau kau tidak mendapat donor jantung, kau mungkin tidak bisa diselamatkan.
Aku takut, aku takut kehilanganmu. Keesokannya, aku mencari donor jantung
untukmu. Aku mencari ke setiap rumah sakit, tapi tidak ada. Ini alasanku
meninggalkanmu hari itu. Aku tahu kau marah, tapi aku tak tahu harus bagaimana.
Mianhae, cheonsa-ya.”, pandanganku mulai kabur karena saat ini air mata telah
membasahi kedua pipiku. Kenapa layarnya hitam? Apa sudah habis? Atau rusak?
Huh? Kenapa ada aku disitu? Aku menangis? Terdengar percakapanku dan dokter
itu. Jadi, Jaejoong oppa tidak meninggalkanku? Ia selalu disisiku?
“Huaaaaa, uri cheonsa
sedang tidur kekeke. Jaljayo~”, bisiknya. Terlihat wajahku saat tidur. Jaejoong
oppa merekamnya? Terlihat aku sedang berada di taman rumah sakit keesokan
harinya.
“Sungguh cantik.
Andai aku bisa melihatmu lagi, Cheonsa-ya.”, Jaejoong oppa berada disisiku.
Yah, agak jauh. Tapi kenapa ia tidak menghampiriku? Jaejoong oppa mengikutiku
ke ruang operasi. Ia merekamku saat aku sudah tak sadar.
“Cheonsa-ya, aku
menyayangimu. Cinta tak harus memiliki. Cinta bukan berarti kau harus selalu
bersama, selalu ada disisinya. Bukan itu, tapi cinta, butuh pengorbanan. Jadi,
aku memutuskan memberikan jantung dan mataku untukmu. Aku ingin memberimu
kehidupan. Aku ingin, setiap detak jantungku, yang ada ditubuhmu nanti, akan
mengingatkanmu padaku. Aku ingin, mataku, yang akan menjadi matamu juga,
melihat indahnya dunia. Tak ada tangis lagi. Aku tahu, jika aku melakukan ini,
kau pasti akan marah. Tapi aku lebih baik begini, daripada melihatmu menderita
seperti itu. Saat kau melihat video ini, aku pasti sudah tidak ada. Satu hal
yang harus kau tahu dan harus kau ingat. Aku
mencintaimu, Cheonsa-ya. Mungkin memang kita tidak ditakdirkan untuk
bersama di dunia. Tapi aku yakin, kita pasti akan bersatu di alam sana. Aku
pasti akan merindukanmu, aku menunggumu disana. Hmmmm, aku akan menyanyikan
beberapa bait lagu, dengarkan ya.”
Sha-la-la-la-la
Sha-la-la-la-la
Sha-la-la-la-la
You used to call me your angel
Said I was sent straight down from Heaven
Said I was sent straight down from Heaven
You’d hold me close
in your arms
I loved the way you
felt so strong
I never wanted you to
leave
I wanted you to stay here
holding me
“Nah, itu saja. Aku belum
selesai membuat liriknya. Bisa kau lanjutkan, Cheonsa-ya?”, pintanya penuh
harap. Kulihat jarum suntik telah disiapkan, pertanda operasi akan segera
dimulai.
“Cheonsa-ya, operasi akan
dimulai. Hmm, aku harap kau tidak marah padaku. Jaga dirimu ya.”, jarum suntik
menembus kulitnya.
“Sa-rang-hae-Ju-Jung-Yoo-Ra…”,
kulihat matanya tertutup dan setetes air mata mengalir disudut matanya.
“OPPAAAAAAA!!!!”, air mataku
mengalir deras. Aku menemukan sebuah alamat dari kotak itu. Aku pun mencari
alamat itu, masih dengan air mata yang berlinang. Pemakaman? Di batu nisan itu
tertulis nama Kim Jaejoong.
“Apa oppa pikir ini yang aku
inginkan!? Aku lebih baik buta dan kesakitan daripada harus kehilanganmu…”,
ujarku sambil memeluk nisannya.
“Oppa, mianhae, mianhae,
mianhae. Disaat kau bersusah payah mencari donor untukku, aku malah marah
padamu. Mianhae… jeongmal mianhae…”
I know you’re in a
better place, yeah
But I wish that I could
see your face, oh
I know you’re where
you need to be
Even though it’s not
here with me
“Jeongmal saranghae, Jaejoong oppa…”
FIN
Maaf
kalo jelek-_-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar